Asumsi dasar yang umum terbangun adalah cinta tidak akan bisa memiliki argumentasi. Jika memiliki argumentasi, maka itu bukan cinta.
Baik, mari kita elaborasi melalui percakapan
imajiner dari dua orang berikut.
Xavier: "Kenapa lo cinta sama
Watiyem?"
Yengki: "Karena Watiyem itu putih, pinter,
dan perhatian."
Sekarang kita perhatikan. Dengan alasan Yengki
tersebut, jika Yengki menemukan sosok lain, sebut saja Zebria, yang lebih
putih, lebih pintar dan lebih perhatian, maka Yengki akan lebih mencintai
Zebria. Atau sebaliknya, jika Watiyem suatu waktu kulitnya berubah menjadi
hitam kelam, rada bego, dan cuek bebek, maka Yengki akan kurang atau tidak
mencintai Watiyem.
Faktanya, cinta tidak berjalan seperti itu,
bukan? Bagaimanapun kelemahan pasangan kita, cinta justru yang membuat kita
bisa menerimanya. Ujung-ujungnya, kalau benar-benar cinta, maka jawaban Yengki
saat ditanya alasan kenapa cinta Watiyem adalah...
"Ya... karena dia Watiyem. Kalau bukan
Watiyem ya aku ngga cinta". Sampai-sampai jamak kita jumpai ekspresi,
judul lagu, lirik berbunyi "Love is you".
Padahal....pernyataan Yengki tersebut tidak
menjawab pertanyaan "Kenapa". Itu lebih tepat menjawab pertanyaan
"Siapa" yang Yengki cintai.
Jadi, secara logika dan faktual, memang tidak
bisa beralasan cinta itu. Cinta ya cinta, jangan tanya kenapa.
Saya jadi ingat sepenggal ceramah Professor
Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal siang tadi di Masjid Salahuddin
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang kurang lebih begini:
"Al Quran (sebagai petunjuk bagi manusia)
jika diringkas, maka hakikatnya ada di Surat Al Fatihah. Surat Al Fatihah jika
diringkas lagi, maka intinya ada di Bismillaahirrahmaanirrahiim (Basmalah). Basmalah jika
diringkas, maka keutamaanya ada di dua kata terakhir, Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua
kata tersebut, memiliki akar kata yang sama, yakni Ra-Ha-Mim. Satu akar kata
tersebut artinya CINTA. Jadi inti dari inti Firman Allah Swt adalah
CINTA."
Lalu segagah apakah kita menanyakan alasan Allah
mencintai kita?
---