Melihat aksi mahasiswa yang kemudian diikuti oleh aksi dari para siswa STM yang dimulai tanggal 23 September 2019 lalu, sangat menarik bagi saya untuk membahasnya. Tentu pandangan saya berikut sangat relatif, hanya bersifat opini, bukan soal benar-salah, melainkan bentuk kemerdekaan berpikir kita sebagai manusia.
Keikutsertaan siswa-siswa STM adalah sinyal bagi generasi saya dan tentu bapak-ibu dan para “mbah-mbah” di pemerintahan.
Bahwa
mereka,
anak-anak STM yang kelahiran kisaran
2001-2003, adalah
generasi
yang
BERBEDA
dari
sebelum-sebelumnya. Mereka secara komunal mau bergerak turun ke jalan, membantu gerakan kakak kelasnya dari mahasiswa, berani melawan aparat saat demo, dan rela menerobos potensi bahaya bagi hidup dan masa depannya. Merekalah generasi yang disebut Gen Z menurut
Bruce Horovitz (2012).
Paragraf saya di atas semoga tidak lantas disimpulkan oleh pembaca bahwa itu tindakan yang bisa dibenarkan. Saya tidak bilang benar, tetapi sekali lagi, mereka generasi yang berbeda. Kalau soal mereka tidak tahu apa yang diaspirasikan, mohon sangat dimaklumi. Mereka belum mengenyam sistem pendidikan yang menuntut pemikiran kritis dan penuh tuntutan argumentasi yang ilmiah. Mereka anak STM yang mungkin kesehariannya mendalami ilmu praktis atau teknikal. Jangan tuntut mereka memahami apa yang belum waktunya atau seharusya mereka pahami, seperti halnya kita jangan menyalahkan anak SD yang tidak bisa menyelesaikan
soal
trigonometri.
Jangan lupa, mereka bagian dari rakyat Indonesia
yang berhak bersuara dan tentu akan terimbas dari kebijakan pemerintah.
Kenapa saya sampai gatel menulis ini, karena saya mohon sinyal ini ditangkap oleh Bapak-Ibu, apalagi pemerintah. Mereka generasi muda yang energi dan hasratnya meluap-luap. Jangan-jangan, sekali lagi jangan-jangan, mereka selama ini tumbuh menjadi anak kritis tapi tidak punya tempat meluapkan energinya. Maka jangan heran mereka sering tawur. Siapa sih masyarakat yang tidak terganggu dengan tawuran pelajar? Saya pun terganggu. Tapi nyatanya mereka kemarin bersatu, tidak lagi terpecah atas nama sekolah atau gang.
Mereka memang generasi yang berbeda. Kenapa? karena kalau bercermin ke masa SMA saya, seaktif-aktifnya saya bersama teman-teman di organisasi, keberanian kami belum sampai menyuarakan aspirasi di jalanan. Kami senang aktif di ekskul, di OSIS, tapi ternyata kami lebih senang merasa nyaman dan mapan dengan kondisi sendiri, tetapi terpisah dari derita rakyat. Kami berpikir, tapi terpisah dari masalah kehidupan. Kami berkumpul, tapi kami merasa eksklusif. "Ah, itu kan karena dulu ga ada gerakan kaya gini, kalo dulu ada, pasti kita juga ikut turun." Baik, argumen itu mungkin valid, tetapi itu argumen kondisional. Untuk yang saat ini kita lihat, kita perlu perhatikan mereka. Setidaknya, jangan hakimi mereka.
Kalau ada yang menganggap bahwa gerakan mereka bar-bar dan jauh dari 7 tuntutan #mahasiswabergerak
, ya
monggoh.
Saya
justru
melihat,
dalam
sebuah
perlawanan,
tidak
semua
jadi
"Kostrad".
Pembagian
tugas
yang
solid
justru
menjadi
kunci.
Ada
yang
menjadi
"Infanteri",
ada
yang
menggempur
dengan
"Kavalerinya",
ada
yang
bertugas
dalam
"Armed"
dan
"Arhanud",
dll.
Dan
kemarin
mereka
tetiba
datang
menjadi
Infanteri
yang
datang
menyusup
dari
tengah,
seperti
Knights
of
the
Vale yang tiba-tiba datang melawan pasukan Ramsey dalam episode Battle of Bastards, Game of Thrones.
Teruskan perjuangan kawan-kawan. #mahasiswabersatu , #STMbersatu , #SMAbersatu , #pegawaibersatu , #semuabersatu , #Indonesiabersatu melawan ketidakadilan dan kesewang-wenangan. Tidak kalah penting, bersatulah melawan kejahilan dan ahmaq dalam diri kita. Jangan lawan orangnya, lawan kedzaliman dan kelalaiannya.
Tetap
miliki
mental
puasa
dalam
perjuangan,
tahu
batas-batas. Panjang Umur Perjuangan!
Sebagai penutup tulisan ini, kukutip cuilan Puisi Sajak Sebatang
Lisong karya W.S. Rendra.
---
“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.”
ITB Bandung, 19
Agustus 1977
Referensi:
Fandom. Battle of the Bastards. https://gameofthrones.fandom.com/wiki/Battle_of_the_Bastards
(diakses tanggal 26 September 2019).
Intisari
Online. 2018. Mengenali Jenis Pasukan Tempur TNI Angkatan Darat Berdasarkan
Warna Baret. https://intisari.grid.id/read/03109459/mengenali-jenis-pasukan-tempur-tni-angkatan-darat-berdasarkan-warna-baret?page=all
(diakses tanggal 26 September 2019).
Sastranesia.
2014. Sajak Sebatang Lisong Karangan WS.Rendra http://sastranesia.com/sajak-sebatang-lisong-karangan-ws-rendra/
(diakses tanggal 26 September 2019).