Sekarang pertanyannya adalah apakah orang tidak berhubungan seksual karena kondom mahal dan susah dicari? Apakah orang akan langsung ingin berhubungan seksual ketika melihat kondom? Kalau memang free sex sekarang sudah semakin parah, apakah itu karena banyaknya kondom gratis di pasaran? Bukankah masalah free sex (di Indonesia yang sangat menjunjung nilai keagamaan) ini kalau ditelusuri sampai akar karena masalah lemahnya iman? Sekarang kita ambil pengandaian tidak ada lagi kondom di dunia ini. Apakah orang-orang juga tidak akan lagi berhubungan seks? Yang ada bukankah makin banyaknya kelahiran bayi di luar nikah dan mungkin makin tinggi penularan HIV/AIDS? Kita ambil analogi kondom HP. Karena HP kita sering jatuh dan takut lecet, maka kita perlu ada kondom yang paling tidak bisa melindungi HP dari lecet. Lalu, kita dapat banyak kondom HP gratis suatu hari. Apakah itu akan mendorong kita membanting-banting HP? Di samping itu, bukankah argumen di atas akan memberikan pesan negatif bahwa masyarakat sekarang nafsu-nafsu dan jahiliyah karena begitu mendapat kondom gratis, mereka langsung berseks ria? Ini bukan counter atas argumen penolakan di atas. Ini hanya pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab karena argumen penolakan bagi-bagi kondom karena “akan mendorong banyaknya perzinahan” kurang logis jika tidak dibarengi dengan penjelasan yang runtut dan rasional.

Belum lagi ada isu yang mengatakan PKN ini memakan anggaran 25 milyar, tidak efisien. Semoga saja masyarakat tidak ada yang salah kaprah kalau program ini milik Kemenkes. Program ini bukan dari Kemenkes, melainkan dari DKT, perusahaan penghasil kondom Sutra dan Fiesta. Kalau memang anggaran itu dihabiskan oleh pihak swasta, kenapa kita harus kebakaran jenggot? Ada yang lebih menarik lagi untuk dikomentari. Ada beberapa orang / kelompok yang mengaitkan Pekan Kondom Nasional dengan realisasi jilbab polwan, dengan mengatakan “kondom dibagi-bagi gratis, jilbab polwan dihalangi.” Pertama, apakah hubungan antara kondom dan jilbab? Saya masih belum mengerti. Kedua, jilbab polwan itu kewenangan Kapolri, sedangkan program bagi-bagi kondom ini dari perusahaan swasta. Kenapa mereka menuntut polwan supaya berjibab kepada pihak swasta? Tidak relevan, bukan?

Saya secara pribadi, tetap menolak Pekan Kondom Nasional. Tapi bukan karena alasan di atas. Saya lebih melihat kepada efektifitas dari program ini. Kenapa Pekan Kondom Nasional dikatakan tidak efektif? Ini penjelasan saya.

Seringkah kita menjumpai keadaan bahwa kerja keras kita sia-sia, upahnya nggak sesuai dengan beban kerja kita, lalu iri sama teman-teman lain yang gajinya gedhe beserta fasilitasnya yang komplit di tempat kerjanya? Mungkin hampir semua orang merasakan hal tersebut.

Sekarang begini kondisinya, kita udah bekerja serajin mungkin biar bos liat kita orang yang etos kerjanya bagus terus  bisa dipromosiin naik jabatan. Eh, giliran akhir bulan bos kita sakit keras. Oh, atau contoh lain, kita kerja lembur siang malem selama dua minggu biar dapet uang lembur banyak dari kantor. Eh pas dua minggu genap, kantor kebakaran ludes semua aset, termasuk petty cash-nya. Ada juga kejadian lain. Kerja capek-capek jadi CPNS (ehem..) yang gak mungkin gak digaji sama negara, eh pas udah nunggu-nunggu gajian, teryata uang tunggu CPNS-nya nggak cair karena alasan insufficient fund. “Masa pemerintah kekurangan dana si? Gak mungkin.” Ya kalo kondisinya begitu? Negara juga bisa bangkrut. Kita bisa liat Yunani sama negara-negara lain di Eropa, Yunani sampai di-bailout karena sovereign-debt crisis yang kalo gak di-bailout negaranya bisa bangkrut. 

Ternyata, selama kita terus berharap sama manusia, berharap sama pemerintah, berharap sama perusahaan, berharap sama ternak dan kebun kita, berharap sama pelanggan kita, dst, kita akan selalu KECEWA. “Terus kita harus berharap sama siapa?” Kita berharap HANYA kepada ALLAH SWT. Mau naik gaji, mau naik jabatan, mau dagangan laris, dan bahkan mau jodoh sekalipun, kita mengharapkan restu dan balasan cinta si doi, HANYA sama ALLAH SWT. Usaha kita, kerja keras kita, kerjaan kita, jadiin ibadah aja. Insya Allah kalo kita kerja udah capek, lemes, ga dapet duit pula, kalo niatnya ibadah..ngga bakal sia-sia. Ada nilai ibadahnya. Dan Bos kita, perusahaan, pemerintah itu cuma perantara rezeki aja. Allah yang ngasih. Sekali lagi, Allah yang kasih, bukan manusia. Jadi logikanya masuk kan, Allah yang kasih rejeki kita, makanya kita kerja buat Dia (niatin ibadah).

Keyakinan ini aku coba terapin di masa On The Job Trainig (OJT).  Tiap bulan, kita anak-anak OJT cuma dikasih uang tunggu sebesar Rp850.000,00. Buat kos yang paling murah aja itu Rp500.000,00. Jadi buat makan, transportasi, pulsa, dll cuma ada Rp350.000,00. Akhir bulan November, duit tinggal Rp10.000,00. Gajian masih 1 minggu lagi. Kalo pake itung-itungan, berarti buat bertahan sampe gajian, aku harus habisin maksimal Rp1.400,00 per hari buat makan dan lain-lain. Hahahah. Beli nasi aja gak cukup ya bro? Tapi aku yakin aja, “Yang kasih rejeki itu Allah. Yang nyukupin hidup semua orang juga Allah. Allah udah nempatin aku di Jakarta, jauh dari rumah, ngga mungkin Dia nelantarin gitu aja. Dia Maha Bertanggung jawab pasti.” Kerja tetep jalan, meskipun kantong kering. I do my best in my office. Pokoknya aku niatin ibadah aja. Alih-alih ngirit, ikhtiarku malah sebaliknya. Sedekah Rp4.000,00 ke kotak amal buat yatim piatu. Aku pikir dengan sedekah, mudah-mudahan Allah kasih balasan berupa tambahan rezeki. Tiba-tiba hari rabu, waktu  aku bbm kakakku buat nanyain kabar, Eh kakakku bilang “Wan, aku udah transfer Rp200.000,00. “ Alhamdulillah, dapet pinjeman duit. Aku bales, “Ya makasih banyak ya mba.. nanti kalo uang tunggu udah cair aku kembaliin.” Kakakku ngga mengiyakan, tapi malah bales “Ngga usah. Itu emang aku mau kirim buat mamah, tapi langsung aku kasih ke kamu.” Alhamdulillahirabbil 'alamin… sedekah Rp4000,00 dibales Rp200.000,00. Kalo kita udah ngarep cuma sama Allah, Allah bakal kasih rezeki dari jalan yang gak diduga-duga. Yakin!

Pada akhirnya, semoga kita selalu menggantungkan segala harapan HANYA kepada Allah, bukan kepada manusia dan makhluk lainnya.