Foto di atas diambil
sesaat setelah saya dinyatakan lulus (tidak mengulang deng) sidang skripsi dan
ujian komprehensif di perkuliahan D-IV PKN STAN. Di kelompok kami, kebetulan
saya yang mendapat jadwal paling akhir. Karena kelompok saya punya solidaritas yang
tinggi, mereka mau menunggu saya dari pagi hingga menjelang maghrib. What
a great team! Tapi kali ini saya tidak hendak menceritakan Mas Gigih,
Doddy, Dimas, Mas Yaum, Chandra, dan our lovely dosbing, Bu
Aisyah satu per satu, melainkan kritik tentang proses pendidikan di STAN. Ya,
ini tulisan pertama saya tentang almamater saya ini.
Entahlah di kampus lain
punya masalah yang sama atau tidak, yang jelas ada yang perlu dirumuskan ulang
tentang sistem pendidikan di kampus saya. Kenapa? Menurut saya sistem di STAN
sulit melahirkan para spesialis di keuangan negara. Setidaknya ini didukung
dari beberapa fakta berikut.
- Lebih dari 50% mahasiswa yang
diterima berasal dari jurusan sains. Belajar di STAN, berarti mengulang lagi
dari 0, fisika-kimia-matematika IPA ngga kepake lagi. Sampai di sini, oke
masih banyak dijumpai di kampus lain ya.
- Penjurusan di STAN disebut
spesialisasi, bukan fakultas atau jurusan, yang di benak saya, output yang
diharapkan ya benar-benar seorang spesialis. Spesialis Perpajakan ya
harapannya akan melahirkan calon-calon ahli perpajakan. Faktanya, lulusan
STAN tidak seluruhnya bekerja sesuai spealisasinya, bahkan bisa dibilang
random. Saya sendiri yang berasal dari spes akuntansi, yang diperdalam ilmunya
adalah akuntansi keuangan, akuntansi pemerintahan, dan audit. Selulusnya
dari STAN, penempatan definitif saya di Ditjen Pajak, Seksi Penagihan.
Oke, akuntansi mulai terlupakan karena yang diperdalam adalah ilmu
perpajakan (jujur waktu masih OJT, saya merasa ilmu perpajakan saya 0
meskipun dapat perpajakan juga 3 semester 😂).
Sampai di sini, oke lah masih banyak juga lulusan PTN yang dapat pekerjaan
tidak sesuai dengan bidangnya.
- Setelah dinyatakan lulus
seleksi tugas belajar D-IV (syarat 2 tahun setelah menjadi PNS), ya
belajar lagi akuntansi lebih dalam, baik akuntansi keuangan (PSAK),
akuntansi pemerintahan (yang berbeda lagi karena penerapan PP 71 tahun
2010), dan teori akuntansi. Untuk syarat kelulusan, kami perlu melewati
sidang skripsi dan ujian komprehensif yang meliputi 12 mata kuliah. Yha.
Belajar lagi semua materi dari D-III sampai dengan D-IV. Namun, pada saat
sidang kita tidak tahu mata kuliah mana yang ditanyakan oleh dosen
penguji. Lalu gimana hasilnya? Pasti dong...saya banyak menjawab pertanyaan
dari satu dosen penguji tentang akuntansi pemerintahan dan teori akuntansi
dengan ngawur yang cuma dibalas ketawa miris dari dosen tersebut. Saya
tidak sempat mengulas lebih dalam dua mata kuliah tersebut (banyak banget
bray). Terlebih lagi, setelah lulus D-III saya tidak pernah lagi
bersinggungan dengan akuntansi pemerintahan. Sekalinya masuk D-IV, sistem
yang dipakai sudah berbeda (dari cash toward accrual menjadi accrual
basis). Sedihnya lagi, dosen tersebut juga dosen pembimbing saya. Hiks. Kabar
bahagianya sih saya bisa menjawab cukup lancar (beberapa terbata-bata)
pertanyaan dari dua dosen penguji lain. Itu menurut perkiraan saya,
MENURUT PERKIRAAN SAYA 😌.
Mungkin setelah saya keluar ruang sidang ya beliau-beliau bertiga ketawa
ngikik.
- Kondisi nomor 3 tidak hanya
dialami oleh saya. Dari minggu pertama saya memantau sidang dan kompre,
reaksi teman-teman saya setelah keluar ruangan selalu bisa ditebak:
pucat,datar,ketawa hina,pura-pura sedih, atau ekspresi lain yang spontan
mengundang kita untuk ingin menyantuni deh. Kenapa? Karena ada saja
pertanyaan yang sulit dijawab dan alhasil tercipta jawaban ala
kadarnya.
- Seselesainya tugas belajar,
kami kembali ke instansi asal. Apakah skill saya dalam
menggali potensi penerimaan pajak atau pemeriksaan meningkat? Secara
relatif tidak. Satu-satunya yang bisa saya kontribusikan ke Ditjen Pajak
ya hasil skripsi saya. Tambahan kapasitas saya dalam perpajakan justru
lebih cenderung ke teoritis melalui kajian pustaka di mata kuliah Seminar
Perpajakan selama satu semester.
Tentu sistem yang ada
sekarang tidak serta merta disalahkan. Saya pun menilai sistem yang sekarang
ini sarat manfaat karena saya jadi belajar lagi semua materi dari D-III sampai
D-IV. Toh, jenjang D-IV atau setara sarjana di mana pun juga mencetak
generalis. Namun, terbesit dalam harapan saya bahwa STAN ini seharusnya
mencetak para ahli di bidang-bidang keuangan negara. Namanya saja sekolah
vokasi, ya seharusnya mencetak spesialis.
Sebagai contoh untuk
saya sendiri, paling tidak mulai jenjang D-IV saja, kuliah yang berlangsung tiga sampai empat semester ini seharusnya mendalami perpajakan selama dua semester.
Output yang diharapkan adalah tambahan skill (dalam
pemeriksaan misalnya). Output tersebut pastinya perlu ditunjang dengan tools pengukurannya
seperti dengan Balance Score Card agar bisa terus dievaluasi
dan dikembangkan.
Kalau kita renungkan
ulang, mungkin sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh memang sedari
dini tidak mengarahkan manusia menjadi ahli sesuai kemampuan genetisnya. Dengan
kata lain, sistem sekarang tidak mengarahkan manusia untuk menemukan dirinya
sendiri. Maka pada akhirnya, mengutip ungkapan Cak Nun, kita tinggal memilih
menjadi orang seperti apa dari empat opsi berikut:
1. Orang yang banyak
tahu tentang banyak hal
2. Orang yang banyak
tahu tentang sedikit hal
3. Orang yang sedikit
tahu tentang banyak hal, atau
4. Orang yang sedikit
tahu tentang sedikit hal.
Dan saya takut saya
masih menjadi manusia nomor 4 😔.
2 komentar
Merasakan hal yang sama. Jangan-jangan juga tipe keempat. Na'udzubillah.
BalasHapusJadi teringat petuah seorang kyai Alim dari Malang bahwa menyikapi di bidang apa keahlian kita pakai ISTAFTI QOLBAK. Yang membuat tenang & nyaman di hati itulah wujud syukur atas karunia-Nya yang membuat kita pakar pada bidang itu.
Tapi berat ya, kalau dah terlanjur jauh..
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.org