Dua puluh delapan tahun hidup, pengetahuan yang terpelihara tentang perang badar sebatas:
1. Muslim vs Kafir Quraisy;
2. Pasukan berjumlah 313 prajurit menang melawan pasukan berkekuatan 1000-an prajurit; dan
3. Diakhiri dengan khotbah Rasulullah Saw. tentang ajakan menuju perang yang lebih besar, perang melawan hawa nafsu diri sendiri.
Tiga poin itu sudah cukup membuat yakin bahwa kalau Tuhan pasti tidak membiarkan risalah mulia yang dibawa Nabi Muhammad Saw. hilang begitu saja di awal penyebarannya. Keajaiban pertolongan Allah terhadap kaum muslim secara lugas dan lengkap sepertinya sudah kerap dibahas di beberapa literatur, salah satunya di tautan berikut https://firanda.com/1143-perang-badr.html. Terima kasih Ustadz Firanda atas tulisannya.
Pengetahuan tentang perang badar berkembang menjadi pengalaman spiritual yang mendalam bagi diri saya sendiri setelah mengetahui fakta-fakta yang baru saya dapati tentang perang badar.
Pasukan muslim pada saat itu berjalan kurang lebih 200 km dari kota Mekkah menuju medan perang. Mereka bukanlah selayaknya pasukan terlatih yang kita lihat di Film 300 atau Battle of Bastard di Serial Game of Thrones. Mereka adalah para lelaki dengan postur tubuh dan kemampuan seadanya. Pun energinya sudah banyak terkuras. Ini fakta satu yang menarik bagi saya. Kepada pasukannya yang seadanya itu, Rasulullah bersabda:
Innama tunsharuuna waturhamuuna waturzaquuna bi dhu’afaaikum.
“Kalian akan ditolong, dimenangkan, dan diberi rizki oleh Allah karena kalian membela kaum yang lemah (di Mekkah sana).”
Ini nilai spiritual yang baru bagi saya, bagaimana sikap hidup yang Rasulullah tanamkan kepada muslimin. Bahwa jika kita beruntung, mendapat rizki, dan mendapat pertolongan Allah, itu semata-mata karena kita menolong orang yang lemah.
Yang menarik adalah orasi optimisme yang dikumandangkan Rasulullah tersebut bukan karena Rasulullah tahu bakal menang melawan kafir Quraisy. Karena setelahnya, Rasulullah berdialog secara privat kepada Allah:
“Inlam takun ‘alayya ghadlabun falaa ubali”
“Asalkan Engkau wahai Tuhan tidak marah kepadaku, maka aku terima nasib apapun di dunia ini.”
Kanjeng Nabi berada di titik pasrah, kalau memang Islam dan dirinya harus hancur, tak apa..asalkan Allah tidak marah kepadanya.
Sungguh saya menemukan nilai spiritual yang begitu dalam dari pernyataan Kanjeng Nabi tersebut. Beliau seorang Rasul, bahkan kekasih Allah. Tapi satu-satunya yang dia minta dalam keadaan genting melihat pasukan penghancur di depan mata, adalah kondisi bahwa Allah yang penting tidak marah kepadanya. Tidak marah kepadanya walau apapun nasib akhirnya nanti. Bukan surga, bukan keselamatan diri dan pasukannya, atau bahkan kemenangan yang beliau minta. Di sinilah saya menemukan pengalaman spiritual baru. Kalau bahasa saya, di sinilah sebenarnya kita meletakkan koordinat kehambaan kita di hadapan Tuhan.
Tuhan itu kurang apa sama kita. Nikmat Tuhan tidak terhitung tiap detik. Satu saja, misal, kita tidak pernah perlu mikir untuk merencanakan sehari kencing berapa kali, semua sudah diatur sendirinya.
Dosa dan kesalahan kita tidak terhitung tiap hari. Sementara, amalan kita pun juga bukan dagangan yang laku di hadapan Tuhan. Tuhan sama sekali tidak butuh itu semua.
Maka, apapun nasib kita, memang yang paling penting satu, Tuhan tidak marah kepada kita. Dan tanpa disadari, itulah yang kita minta setiap hari.
...
Al-Fatihah: 6
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Al-Fatihah: 7
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
———————
Disarikan dari video Si Mbah berikut:
https://youtu.be/mz8UEzBZaW8
Maturnuwun, Mbah 🙏🏻.